Nada Risau Konservasi Bakau

MangroverID - Jakarta, Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin topan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan sebagainya.

Tidak hanya itu, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain. Sebut saja Ceriops tagal, salah satu jenis mangrove yang air rebusannya dapat digunakan sebagai antiseptik luka atau Acanthus illicifolius yang air rebusan dapat digunakan untuk obat diabetes.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki banyak hutan mangrove yang menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang Sungai Mahakam dan Sungai Musi. Namun, luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan yang disebabkan adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukkan lain: seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar, arang dan bahan bangunan.

Jakarta, misalnya. Saat ini, hutan mangrove di Jakarta hanya sekitar 334,7 hektar saja dari yang dulunya mencapai 1.200 hektar pada 1939. Terkikisnya hutan mangrove (hutan bakau) di Jakarta disebabkan banyak hal seperti keberadaan tambak liar, reklamasi pantai dan juga tumpukan sampah. Dari hal itulah sehingga ekosistem kehidupan pesisir terabaikan.

Saat ini, dampak dari itu semua sudah sering disaksikan. Di mana beberapa daerah di Jakarta, khususnya yang berada di pesisir kerap terendam air laut ketika pasang. Bahkan, kemungkinan terparah akan bisa terjadi, yakni sebagian daratan di Jakarta akan berubah menjadi lautan. Sebab dengan kurangnya hutan mang­rove akan mengakibatkan laju abrasi.

Hutan bakau di Jakarta sekarang tersebar di delapan tempat, masing-masing di Restorasi Ekologis Hutan Lindung Angke 44,76 hektar, Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk 99,82 hektar, Kebun Bibit Angke 10,51 hektar, Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02 hektar, kawasan Transmisi PLN 23,7 hektar, kawasan Cengkareng Drain 28,39 hektar, Jalan Tol Sedyatmo dan Jalur Hijau 95,50 hektar, serta Ecomarine Taurism Muara Angke 7 hektar. Dari delapan lokasi konservasi mangrove itu, yang terluas terdapat di TWA Angke Kapuk yang dikelola Murniwati Harahap. Letaknya di wilayah Kotamadya Jakarta Utara.

Kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan hutan wisata yang dimanfaatkan untuk kegiatan penghutanan kembali/rehabilitasi hutan mangrove dan kegiatan pariwisata alam (ecoturism). Penetapannya sendiri diresmikan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan pada 25 Januari 2010. Di tempat itu, penanaman baru mangrove sudah dilakukan sejak 12 tahun silam dan terus berlangsung sampai sekarang. Jenis mangrove yang ditanam di lokasi itu sendiri didominasi dua jenis yakni api-api dan bakau. Selain dua jenis itu, pihak pengelolah juga menanam mangrove bidara yang buahnya bisa dibuat jus.

“Kami di sini terus melakukan penanaman hingga nantinya luas lahan ini akan hijau oleh mangrove. Penanaman mangrove sendiri kita lakukan beberapa metode, ada yang jarak tanamnya 2 meter, 4 meter dan ke depannya kita akan juga adakan penanaman yang jarak tanamnya mencapai 10 meter. Karena, jika mangrove itu nantinya besar, akarnya akan berdiameter 3-4 meter. Nah, di sela-sela tanaman bakau itulah nanti bisa dimanfaatkan pengunjung untuk bersampan,” ujar Murniwati Harahap.

Dikatakannya juga lebih jauh, kalau hutan mangrove masih memiliki banyak fungsi lainnya di antaranya menjadi tempat bersarangnya spesies burung serta menjadi tempat transit burung-burung yang hendak berimigrasi. Hal itu merupakan satu bukti kalau dengan pemeliharaan hutan mangrove dengan baik, maka akan banyak membawa dampak terhadap baik terhadap rantai kehidupan.

Pun, keberadaan mangrove juga sangat erat kaitannya dengan prosuksi perikanan tangkap. Karena, hutan bakau menjadi tempat yang aman bagi berbagai jenis hewan laut untuk berkembang biak, kemudian ketika dewasa, mereka akan meninggalkan daerah itu ke laut lepas dan tempat lainnya.

Bagi seorang Murniwati, ternyata merehabilitasi hutan mangrove di pesisir Jakarta punya tantangan yang berat. “Gangguan dari masyarakat setempat, menjadi penghalang niatannya itu. Bibit-bibit mangrove yang ditanamnya banyak yang ditimbun lumpur dan juga dicabut, sehingga hampir semua yang ditanamnya mati,” cetusnya.

Para pengganggu itu tak lain adalah masyarakat yang berprofesi sebagai petambak liar. Mereka-lah yang selama ini kerap menebang pohon mangrove untuk kepentingan perluasan tambak di tanah negara. Sejak itulah, Ibu Murni melakukan penanaman dengan dikawal oleh aparat keamanan dalam melaksanakan penanaman bibit-bibit mangrove.

Perjuangannya tak sia-sia. Kini, mangrove-mangrove kecil itu sudah nampak keremajaannya. Tak lama lagi akan menjadi sebuah pohon yang rindang seperti yang diimpikannya.

Dengan bantuan berbagai pihak, Murni dan PT Murindra Karya Lestari selaku swasta mendapatkan hak pengusahaan TWA Angke Kapuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 537/Kpts-II/1997.

TWA secara administrasi di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (Dephut). Bahkan, dia juga mendapatkan penobatan sebagai salah satu dari 10 perempuan pecinta lingkungan hidup di Indonesia.

Sumber http://indomaritimeinstitute.org

0 komentar:

Posting Komentar